Pages

Labels

Senin, 09 Januari 2017

WAJAR 9 TAHUN, WAJARKAH ?

“Bab 1 Pasal 1 ayat UU No 20 Tahun 2003 tantang Sisdiknas menjelaskan bahwa yang dimaksud  wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah”.
Wajar atau wajib belajar sepertinya oleh pemerintah baik dari pusat sampai pada pemerintah daerah mengartikan wajib belajar adalah seorang anak harus bersekolah selama 6, 9 atau 12 tahun lamanya, atau memang seperti itu maksudnya.  Akan tetapi memang faktanya bahwa wajar disini adalah anak diharuskan untuk mengenyam pendidikan di suatu lembaga pendidikan selama 9 atau 12 tahun. Kalau seperti itu sebenarnya lebih tepat disebut walah atau wajib sekolah, bukan wajar atau wajib belajar. Hal ini menyebabkan suatu problem baru, karena setelah yang wajib sudah terlaksana, seakan kewajiban belajar sudah selesai dan tidak perlu  lagi melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah seperti itu, kita – sebagai orang terdekat dan pemerintah - , akan kerepotan untuk meningkatkan budaya belajar di masyarakat.
Tugas setiap manusia di dunia ini, salah satunya, adalah belajar. Belajar yang dilakukan sejak lahir sampai akhir hayatnya (long live learning). Jika memang kita bisa paham akan hal ini, tidak ada wajib belajar 6 tahun, 9 tahun atau 12 tahun, tetapi wajib belajar sepanjang hayat. Hal ini akan menjadi penting terutama untuk merubah mindset masyarakat, jika belajar hanya kewajiban saat mengenyam pendidikan di sekolah saja, dan untuk meningkatkan budaya belajar di masyarakat.  Wajib belajar sepanjang hayat berarti setiap manusia akan memiliki semangat dan motivasi untuk terus belajar, tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Manusia yang sadar akan wajib belajar sepanjang hayat akan terus belajar tanpa mengenal batas ruang yang ada. Ruang yang dibatasi oleh lantai, tembok/dinding dan atap. Manusia tersebut akan menjadikan lingkungan dan alam sebagai kelas mereka, dan alam raya ini menjadi sekolah mereka. Mereka tidak akan hanya belajar di sebuah gedung yang dikelilingi dan dibatasi oleh pagar-pagar. Imajinasi dan tindakan mereka akan jauh melampaui batas ruang yang ada. Mereka akan senang dan bahagia jika belajar dari dan di alam sekitar. Dan memang sudah seharusnya, belajar tidak hanya tentang alam dan lingkungan saja, akan tetapi sudah seharusnya belajar dari dan dengan alam serta lingkungan sekitarnya. Karena pada hakikatnya, manusia akan kembali dan tergantung pada alam.
Selain tidak akan dibatasi oleh ruang, manusia yang sadar akan wajib belajar sepanjang hayat akan terus belajar tanpa dibatasi oleh waktu. Seperti yang sudah disampaikan di awal tadi, belajar adalah tugas setiap manusia sejak dari lahir sampai akhir hayat. Sehingga belajar tidak akan dibatasi hanya pada usia jenjang-jenjang pendidikan seperti yang ada saat ini. Manusia menyelesaikan tugas belajar di setiap jenjang-jenjang pendidikan adalah tugas formalnya. Akan tetapi, setelah tugas tersebut selesai, maka tugas utama untuk belajar tidak boleh selesai.

Senin, 02 Januari 2017

PEMAHAMAN WAWASAN NUSANTARA DI SEKOLAH DASAR

Setiap bangsa mempunyai cita-cita baik tertulis maupun tidak tertulis. Cita-cita Bangsa Indonesia tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua yaitu: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Akan tetapi seiring berkembangnya zaman dan teknologi, menimbulkan berbagai masalah atau ancaman banyak timbul di berbagai daerah dan sektor. Masalah tersebut pada akhirnya akan memecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia sendiri. Beberapa masalah atau ancaman tersebut timbul salah satunya akibat kurangnya pemahaman tentang wawasan nusantara.
Pemahaman terhadap wawasan nusantara sangat diperlukan oleh setiap warga negara Indonesia untuk ditingkatkan. Melalui dunia pendidikan, pemahaman wawasan nusantara berusaha untuk diimplementasikan. Salah satu satuan pendidikan yang paling baik untuk mengimplimentasikan pemahaman wawasan nusantara sejak dini adalah sekolah dasar. Pemberian pemahaman wawasan nusantara kepada peserta didik sekolah dasar diintegrasikan di dalam proses pembelajaran, baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Sebagai contoh, peserta didik dapat memperoleh pengetahuan tentang wawasan nusantara di dalam mata pelajaran PKn, IPS ataupun mata pelajaran lain yang memuat pengetahuan tentang wawasan nusantara.
            Pemahaman wawasan nusantara yang diberikan kepada peserta didik menjadi dasar dalam mengembangkan sikap cinta terhadap bangsanya sendiri. Dengan pemahaman wawasan nusantara, peserta didik memiliki pandangan sendiri tentang bangsanya. Selain itu juga dengan pemahaman wawasan nusantara peserta didik akan lebih merasa bangga akan bangsa dan negara tempat tinggalnya. Rasa memiliki inilah yang nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi sikap atau rasa cinta terhadap bangsanya.
            Dari rasa mencintai bangsanya sendiri, peserta didik diharapkan memiliki sikap bela negara yang sudah menjadi hak dan kewajibannya terhadap bangsa ini. Sikap bela negara akan tumbuh jika peserta didik memiliki pandangan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 mengenai bangsanya. Sikap bela negara ini juga akan tumbuh jika peserta didik memiliki rasa kepemilikan terhadap apa yang ada di dalam bangsa dan negaranya.
            Rasa kepemilikan tersebut akan tumbuh sesuai dengan apa yang dipahami. Begitu juga dengan wawasan nusantara, agar peserta didik memiliki rasa kepemilikan terhadap nusantaranya, maka perlu diberikan pemahaman wawasan kenusantaraan. Setelah memiliki rasa kepemilikan, peserta didik akan memiliki rasa lebih mencintai, memiliki kesadaran, keyakinan, memiliki rasa untuk bersatu dan memiliki kerelaan untuk menjaga apa yang menjadi kepunyaanya. Kelima hal itulah yang menjadi unsur dasar dalam sikap bela negara. Sehingga dengan bekal pemahaman wawasan nusantara tersebut, peserta didik sebagai bagian dari warga negara, diharapkan juga dapat mengembangkan sikap bela negaranya dan dapat ikut berpartsipisai dalam upaya mempertahankan NKRI.
            *) Penulis, A.Budiyanto, S.Pd, Guru SDIT Salsabila Al Muthi’in
           
           


Antara Guru dan Merdeka Belajar

“Guru itu kemuliannya terletak pada mendidik anak-anak didiknya di manapun dia berada” (Suyoto, Bupati Bojonegoro).
“Jadilah manusia, manusia yang baik, begitu juga dengan guru, bukan jadi guru yang berdagang” (Ridwan Kamil, Walikota Bandung).
           Itulah dua buah kalimat motivasi yang penuh makna yang dipaparkan oleh dua pembicara dalam Temu Pendidik Nusantara 2016. Temu Pendidik Nusantara 2016 dilaksanakan dari Hari Jum’at-Sabtu, 28-29 Oktober 2016 di Jakarta Selatan. Temu pendidik nusantara menjadi ajang bertemunya para guru maupun pegiat pendidikan di seluruh nusantara. Selain itu temu pendidik nusantara juga menjadi wadah bagi para pendidik untuk berefleksi terhadap upaya-upayanya dalam mendidik anak-anak baik di sekolah maupun di luar sekolah. Temu pendidik nusantara merupakan konferensi tahunan dari Komunitas Guru Belajar dan untuk tahun ini mengusung tema “Merdeka Belajar”.
Merdeka belajar?
                Iya benar, merdeka belajar. Asing ditelinga kita baik sebagai pendidik maupun non pendidik. Apa itu merdeka belajar? Pasti bingung, kenapa belajar butuh yang namanya merdeka atau kemerdekaan. Ya, kalau dilihat secara sekilas, merdeka artinya bebas, lepas dan enjoy melakukan sesuatu. Kalau menurut apa yang ada di dalam KBBI, merdeka memiliki arti tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Dalam konteks ini tidak tergantung pada guru ataupun orang tua. Poin yang perlu digaris bawahi adalah “tidak tergantung”. Seseorang yang sudah merdeka artinya sudah tidak tergantung dengan siapapun. Sehingga anak merdeka belajar artinya anak tidak tergantung lagi dengan guru ataupun orang tua. Tapi bukannya anak memang masih tergantung dengan orang lain? iya memang benar, anak masih tergantung dalam artian masih sangat membutuhkan bantuan dari orang lain, ataupun sosok yang lebih dewasa darinya dan anak akan mengimitasi orang yang berpengaruh dalam hidupnya. Nah kok malah jadinya berkontradiksi dengan arti merdeka belajar.
                Maksud dari anak merdeka dalam belajar adalah anak memiliki kebebasan dalam membuat pilihan yang berhubungan dengan masa depannya. Anak tidak menggantungkan pilihannya kepada guru maupun orang tua, Begitu juga dengan guru dan orang tua, tidak memaksakan pilihan yang dianggapnya tepat untuk masa depan si anak. Anak memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mencari dan mengembangkan ilmu, bakat, minat serta keterampilannya. Akan tetapi, kemerdekaan membutuhkan proses yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, serta memerlukan peran dari pihak-pihak lain. Akan tetapi orang tua ataupun guru hanya mendampingi anak, bukan mengintervensinya.
Guru (tidak) harus belajar?
                Apakah hanya anak-anak yag perlu belajar? Kalau pernah mendengar istilah “long live learner” maka belajar adalah tugas yang terjadi sepanjang hayat. Jadi tidak hanya murid yang masih dalam tahap anak-anak yang belajar, tapi gurupun juga harus terus belajar. Guru juga harus menjadi seorang pembelajar. Tugas guru tidak hanya mendidik dan membelajarkan, tetapi juga harus didik dan belajar. Ya, guru harus belajar dan membelajarkan. Guru harus senantiasa mengupdate ilmu dan pengetahuannya. Pendidikan memerlukan adanya inovasi. Pendidikan bersifat dinamis tidak statis, sehingga gurupun harus terus berinovasi agar kedinamisan pendidikan sejalan dengan kemampuan dan kompetensi guru itu sendiri.
                Pada akhirnya merdeka belajar tidak hanya harus dimiliki anak-anak, tetapi guru juga perlu memiliki kemerdekaa dalam belajar. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya kutip closing statement dari Najeela Shihab saat menyampaikan materi “Merdeka Belajar” di Temu Pendidik Nusantara. “Temu Pendidik Nusantara-Konferesi Komunitas Guru Belajar, membulatkan tekad, bukan sembarang guru yang dibutuhkan untuk reformasi pendidikan, tapi guru yang MERDEKA BELAJAR. Kita perlu suara lebih lantang dan bermakna lebih banyak. Semua murid, semua guru”. Semoga bermanfaat. J
A.Budiyanto, S.Pd
Guru SDIT Salsabila Al Muthi’in, Bantul, D.I Yogyakarta

Penggerak Komunitas Guru Belajar Yogyakarta

Berawal dari penge(TAHU)an

            Cara merawat anak setiap orang tua akan berbeda-beda, tergantung dari pengetahuan dari orang tua tentang cara merawat anak. Orang tua yang hanya memiliki pengetahuan sebatas memberikan kasih sayang akan berbeda dengan orang tua yang memiliki pengetahuan tentang cara terbaik dan nilai dari kasih sayang yang diberikan kepada anak. Masih banyak contoh yang lain, pengalaman yang akan memberikan contoh. Tindakan orang tua terhadap anak akan memberikan pengaruh perkembangan anak dimasa yang akan datang. Selain itu tanggapan dari orang tua terhadap perilaku anak akan memberikan memberikan dampak bagi si anak. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan anak yang menyebabkan orang tua maupun orang di sekitar menjudge anak dengan hal-hal yang negative. Dampak dari orang tua yang memberikan judge negative kepada anak akan melekat di benak anak, bahkan bisa melekat dalam jangka panjang (long term memories).